UndangUndang (UU) Peternakan dan Kesehatan Hewan, awalnya diatur oleh UU No 18/2009 dan diubah melalui UU No 41/2014, kini tengah menjadi fokus revisi oleh pemerintah dan DPR. Berbagai pihak menilai UU tersebut belum mampu menjawab tantangan peternakan modern, termasuk impor, kesejahteraan peternak, dan ancaman penyakit zoonosis.
Beberapa evaluasi menunjukkan kegagalan dalam mencapai swasembada daging sapi, dengan populasi sapi turun dari 18,6 juta (2022) menjadi 11,3 juta ekor (2023) menurut BPS. Konsekuensinya, impor naik dari 32 % (2016) ke 55 % (2023).
Selain itu, sektor peternakan unggas mengalami kerugian kronis, dan merebak penyakit hewan strategis seperti PMK, LSD, dan ASF. Semua ini dipicu oleh kelemahan regulasi, terutama dalam hal pengendalian impor dan manajemen agribisnis lengkap.
Menurut analis, UU saat ini terlalu fokus pada tata laku teknis ternak, tanpa memberi prioritas pada kesejahteraan pelaku usaha peternakan kecil dan menengah. UU ini belum mengakomodasi subsektor unggas, sehingga tidak mencerminkan sistem agribisnis dari hulu ke hilir .
Ketidaktepatan ini juga menimbulkan judicial review UU PKH telah diuji di MK pada 2010, 2015, dan 2022 oleh peternak sapi dan unggas.
FGD yang digagas Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (Desember 2023) menyepakati bahwa revisi harus mencakup:
Definisi ulang pelaku usaha peternakan sebagai subjek utama, bukan objek komoditas.
Penguatan perlindungan terhadap peternak kecil dengan pendampingan dan hilirisasi.
Mengatur kembali importasi ternak dengan prinsip country-based bukan zone-based seperti sebelumnya.
Memperluas cakupan UU agar inklusif terhadap semua subsektor ruminansia, unggas, babi, dan ternak khusus lain.
Menjamin aspek lahan, air, sumber daya genetik, serta profesionalisasi peternakan (insinyur peternakan).
4. Kepentingan Negara dan Ekonomi
Impor ternak hanya dari negara bebas penyakit (countrybase) seperti Australia dan Selandia Baru dirasa membatasi diversifikasi sumber dan memperbesar biaya produksi. Revisi dihajukan untuk memberi akses ke negara lain seperti India, sambil tetap menjaga biosekuriti.
UU baru diharapkan memfasilitasi pemanfaatan input teknologi untuk peternak skala kecil, meningkatkan daya saing, serta memajukan sistem agribisnis nasional.
Revisi telah memasuki tahap FGD, setelah sebelumnya terjadi koordinasi untuk selaraskan peraturan turunannya. Kemenkumham memberi arahan bahwa jika substansi UU berubah signifikan (>50%), maka lebih cocok dibuat UU baru, bukan sekadar revisi pasal. Proses terdiri dari audiensi, harmonisasi, dan involvement dari praktisi serta akademisi.
Revisi diharapkan menciptakan UU yang sederhana, pro-peternak, dan adaptif terhadap dinamika global pangan, mendukung target Indonesia Emas 2045 untuk ketahanan pangan dan kemandirian agribisnis.
Namun tantangan yang harus dihadapi meliputi menjaga keseimbangan antara pembukaan impor dan perlindungan kesehatan hewan, harmonisasi regulasi, serta implementasi nyata di lapangan.
Revisi UU Peternakan dan Kesehatan Hewan adalah langkah penting merespon kelemahan regulasi sebelumnya yang terlalu teknis dan sempit. Revisi bertujuan memperluas cakupan subsektor, memperkuat peran peternak kecil, memperbaiki regulasi impor, dan mewujudkan agribisnis yang berkelanjutan. Dengan dukungan regulasi yang tepat, Indonesia berpotensi mewujudkan sistem peternakan yang mandiri, produktif, dan sehat untuk kepentingan peternak dan ketahanan pangan nasional.